Dari
ketiga ayat tersebut diatas, terdapat tiga istilah yang agak berbeda maknanya,
namun diterjemahkan sama rata sebagai “penciptaan”,
Pertama,
Khalaqa pada surah Fushshilat, ayat
9, yang bermakna “menciptakan dari bahan yang belum ada sebelumnya”.
“Katakanlah: "Sesungguhnya patutkah kamu
kafir kepada yang menciptakan bumi dalam dua masa dan kamu adakan sekutu-sekutu
bagiNya? (yang bersifat) demikian itu adalah Rabb semesta alam".
(QS. Fushshilat : 9)
Kedua, Ja’ala, dalam surah Fushshilat, ayat
10, yang bermakna “ Menyusun, mengelola bahan yang telah ada sebelumnya menjadi
ciptaan baru”.
“Dan dia
menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya. dia memberkahinya
dan dia menentukan padanya kadar makanan-makanan (penghuni)nya dalam empat
masa. (Penjelasan itu sebagai jawaban) bagi orang-orang yang bertanya”.
(QS.
Fushshilat : 10)
Ketiga, Qadla, dalam kata faqadlahunna, surah
Fushshilat, ayat 12, yang bermakna “Menetapkan”. Penggunaan istilah Qadla
(menetapkan) dalam surah Fushshilat, ayat 12 terkait dengan penciptaan langit :
“Maka dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa”
“Maka dia menjadikannya tujuh langit dalam dua
masa. dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya. dan kami hiasi langit
yang dekat dengan bintang-bintang yang cemerlang dan kami memeliharanya dengan
sebaik-baiknya. Demikianlah ketentuan yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui”.
(QS. Fushshilat : 12)
Jika ditilik dari urutan pembahasan dari ketiga
ayat tersebut, maka “penetapan” tujuh langit berada pada bagian paling akhir
rangkaian penciptaan. Namun, mengingat alam semesta senantiasa berproses, maka
“Menetapkan” disini tidak bisa disamakan dengan “menyelesaikan”. Yang “selesai”
bukanlah fisik langit atau alam semesta, melaikan hukum-hukumnya. Dengan
hukum-hukum itulah, alam semesta terus menerus berproses.
Hal lain yang menarik untuk ditinjau adalah kata “sittati
ayyam”, dalam Al-Qur’an selalu di awali oleh kata “fii” yang menunjukkan suatu proses yang kontinyu, tanpa ada jeda. Dengan
demikian maka dapat disimpulkan bahwa penciptaan alam semesta ini terjadi
melalui sejumlah tahapan yang kontinyu : dimulai dengan penciptaan dari ketiadaan, penciptaan
baru dari ciptaan-ciptaan sebelumnya, hingga penetapan hukum-hukum alam.
Sejumlah hadits juga menggambarkan penciptaan alam
semesta, salah satunya adalah hadits at-thabrani nomor 17.971 yang terdapat
dalam Shahih Muslim. Berbeda dengan Al-Qur’an, hadits ini menjelaskan bahwa
alam semesta tercipta dalam tujuh hari.
Menurut hadits tersebut,“Allah telah menciptakan bumi
pada hari sabtu, lalu menciptakan gunung itu pada hari ahad, dan menciptakan pohon
pada hari senin, kemudian menciptakan hal-hal yang tidak disukai pada hari
selasa, menciptakan cahaya pada hari rabu, menyebarkan bintang-bintang di bumi
pada hari kamis dan menciptakan Adam pada hari jum’at setelah ashar.
Hadits lain juga menyebutkan bahwa Allah Swt
memulai penciptaan bumi pada hari Ahad, Senin, Selasa, Rabu, Kamis dan selesai
pada hari Jum’at (6 hari). Asumsi yang digunakan ialah 1 hari dalam hadits ini
sama dengan 1000 tahun. Jadi kira-kira mana yang benar Enam, tujuh atau berapa
?. Hal yang harus di ingat bahwa penyebutan angka tidak mesti bermakna eksak.
Misalnya saja angka 7 dalam bahasa Arab menunjukkan jumlah yang banyak, kaki
seribu yang berarti berkaki banyak, juga 1001 malam untuk menggambarkan
banyaknya kisah di Negeri Persia.
Jadi apakah “sittati ayyam” memang menyebutkan
tahapan penciptaan alam semesta, atau sekedar menunjukkan bahwa penciptaan ala
mini sangat rumit sehingga perlu digambarkan dalam bilangan yang lebih dari
tiga ?. Dalam tafsir lama maupun modern, belum ada penjelasan rinci tentang
“sittati ayyam”. Istilah ini diterima secara imani saja, bukan sebagai sebuah
isyarat ilmiah, meskipun demikian, bukan berarti penafsiran ilmiah seperti ini
tidak bias diterima.
Tafsiran ilmiah apapun atas sittati ayyam dapat
diterima asalkan tidak bertentangan dengan tafsir ayat lain. Dalam penafsiran
dikenal teori munasabah, yaitu sebuah ayat selalu terkait dengan ayat sebelum
dan sesudahnya.
Ayat-ayat yang berisi tentang penjelasan mengenai
karya Allah Swt, seperti tentang penciptaan alam, selalu mengawali ayat-ayat
berisi penjelasan mengenai tauhid. Sehingga, setiap penafsiran mengenai
penciptaan alam harus bermuara pada ketauhitan.
Al-Qur’an memang memiliki karakteristik yang
mengagumkan, sebagai mana ungkapan Ibnu Abbas. Ra. Al-Qur’an itu bagaikan
permata yang memancarkan cahaya
(27) Apakah kamu lebih sulit penciptaanya ataukah
langit? Allah Telah membinanya, (28) Dia meninggikan bangunannya lalu menyempurnakannya,
(29) Dan dia menjadikan malamnya gelap gulita, dan menjadikan siangnya terang
benderang. (30) Dan bumi sesudah itu dihamparkan-Nya. (31) Ia memancarkan
daripadanya mata airnya, dan (menumbuhkan) tumbuh-tumbuhannya. (32) Dan gunung-gunung
dipancangkan-Nya dengan teguh, (33) (semua itu) untuk kesenanganmu dan untuk
binatang-binatang ternakmu.
Rosulullah Saw, bersabda :
“Ketika Allah menentukan penciptaan, Ia tulis
didalam kitab-Nya. Kitab itu ada disisi-Nya diatas ‘Arsy. Sesungguhnya kasih
sayang-Ku mengalahkan kemurkaan-Ku”. (HR. Bukhari dari Abi Hurairah).
Rosulullah Saw, bersabda :
“Allah ada dan belum ada sesuatu apapun selain
Dia. Kerajaan-Nya diatas air. Ia menulis didalam kitab-Nya, selanjutnya Dia
menciptakan langit-langit dibumi … Rosulullah Saw memberitahukan kami tentang
permulaan penciptaan”. (HR. Bukhari dari Imran bin al-Hashani).
Air dan ‘Arsy telah ada sebelum langit dan bumi.
Keadaan awal penciptaan langit dan bumi adalah gelap.
“… Hai Rosulullah, dimana Tuhan kami ‘Azza wa
jalla sebelum Dia menciptakan segala sesuatu ?,
Beliau menjawab :
“Dia dalam gelap dibawahnya udara diatasnya udara,
kemudian Ia mencipta singgasana-Nya diatas air”. (HR. Ahmad dari Abi Rizzin)
Air sebagai bahan penciptaan langit dan bumi.
“wahai Rosulullah, dari apa ciptaan itu diciptakan
?, Dia menjawab : dari air” (HR. At-Turmuzi dari Abi Hurairah).
Dari Nabi Saw. “Sesungguhnya kekuasaan Allah
sepenuh-penuhnya, tak ada yang dapat menguranginya. Dia menggilirkan malam dan
siang. Tahukah kamu tak ada yang dapat mengurangi semenjak keterciptaannya
langit-langit dan bumi. Sesungguhnya tak ada yang dapat mengurangi
kekuasaan-Nya. Tahtanya diatas air, dalam kekuasaan-Nya yang lain, Dia
melimpahkan dan menyurutkan, meninggikan dan menurunkan”. (HR. Bukhari dari Abi
Hurairah. Ra)
Bahwasannya Nabi Saw, berdo’a diwaktu malam dengan do’a ini :
Ya Tuhanku, bagi-Mu segala puji, Engkau raja
langit dan bumi, bagi-Mu segala puji, Engkau yang mengokohkan langit dan
apa-apa yang ada didalamnya, bagi-Mu segala puji, Engkau cahaya langit dan
bumi, sabda-Mu benar, bertemu dengan-Mu benar, surga itu benar, neraka itu benar
dan qiyamat itu benar. Ya Tuhanku, kepada-Mu aku berserah diri, kepada-Mu aku
beriman, kepada-Mu aku bertawaqal, kepada-Mu aku kembali, dengan-Mu aku
berargumentasi, kepada-Mu aku menghukumi, karna itu ya Allah, ampunilah dosaku
yang telah lewat, dosa yang akan datang, dosa yang aku rahasiakan dan dosa yang
aku perlihatkan, Engkaulah Tuhanku, tiada Tuhan kecuali Engkau”. (HR. Bukhari
dari Ibnu Abbas).
0 Response to "Dari Ketiadaan Menuju Ketetapan"
Posting Komentar